Minggu, 12 November 2017

BIMA BUNGKUS

Bima Bungkus


Kisah ini menceritakan Raden Bima putra kedua Prabu Pandu keluar dari dalam bungkus berkat bantuan Gajah Sena yang dikirim para dewa. Gajah Sena kemudian bersatu jiwa raga dengan Raden Bima, sehingga Pandawa nomor dua tersebut kemudian dikenal dengan nama Raden Bimasena.

Kisah ini di kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang di padukan dengan pentas pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto.



Raden Bima keluar dari dalam bungkus

RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA DITUGASI MENJEMPUT RADEN BIMA

Prabu Pandu Dewanata di Kerajaan Hastina sedang memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara Bisma, Adipati Dretarastra, Raden Yamawidura, Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya Suman. Mereka sedang membicarakan putra kedua Prabu Pandu, yaitu Raden Bima yang sejak lahir ke dunia berada dalam bungkus dan diletakkan di Hutan Mandalasana. Tak terasa kini sudah memasuki tahun keempat belas sejak peristiwa kelahiran tersebut terjadi.

Hari demi hari Prabu Pandu menunggui kapan kiranya Pandawa nomor dua tersebut dapat keluar dari dalam selaput yang selama ini membungkusnya. Sebenarnya ia sudah beberapa kali mencoba untuk membuka bungkus tersebut. Namun, tiada satu pun senjata yang mampu merobek selaput pembungkus Raden Bima.

Hingga akhirnya, tadi malam Prabu Pandu mendapat petunjuk dewa bahwa putra keduanya itu akan segera keluar dari dalam bungkus. Ia pun berniat pergi ke Hutan Mandalasana untuk menyaksikan detik-detik keluarnya Raden Bima dan menjemputnya pulang ke istana.

Arya Suman satria Plasajenar maju menyampaikan usulan, bahwa akan lebih baik jika Prabu Pandu tetap berada di istana untuk mempersiapkan upacara penyambutan Raden Bima. Urusan menjemput kepulangan Raden Bima cukup diserahkan kepada para punggawa saja. Dalam hal ini ia siap melaksanakan tugas penjemputan tersebut. Adipati Dretarastra membenarkan usulan Arya Suman dan ia pun ikut menyarankan agar Prabu Pandu menugasi salah seorang di sini untuk pergi ke Hutan Mandalasana.

Prabu Pandu menimbang-nimbang usulan Arya Suman dan Adipati Dretarastra tersebut. Ia akhirnya menyerahkan tugas penjemputan tersebut kepada adiknya, yaitu Raden Yamawidura dengan ditemani Patih Gandamana. Bagaimanapun juga tugas menjemput kedatangan sang putra kedua akan lebih baik diserahkan kepada anggota keluarga, bukan kepada punggawa biasa.

Menerima tugas tersebut, Raden Yamawidura dan Patih Gandamana menyatakan sanggup. Mereka lalu mohon pamit meninggalkan istana. Setelah dirasa cukup, Prabu Pandu pun membubarkan pertemuan. Ia kemudian masuk ke dalam kedaton di mana Dewi Kunti dan Dewi Madrim telah menunggu di gapura.

ARYA SUMAN MENDAHULUI KEPERGIAN RADEN YAMAWIDURA

Arya Suman merasa kesal karena Prabu Pandu tidak memercayai dirinya untuk melaksanakan tugas menjemput kepulangan Raden Bima. Sebenarnya, ia sudah merencanakan pembunuhan terhadap putra dalam bungkus tersebut, karena ia yakin bahwa Pandawa nomor dua ini akan menjadi batu sandungan bagi kemuliaan anak-anak Adipati Dretarastra, atau yang disebut para Kurawa.

Karena tidak mendapat izin dari Prabu Pandu, maka Arya Suman pun menjalankan rencana kedua, yaitu mengirim pasukan dari Kerajaan Gandaradesa yang dipimpin adiknya, bernama Aryaprabu Sarabasanta untuk membunuh Raden Bima bungkus. Adapun adiknya yang lain, yaitu Aryaprabu Anggajaksa ditugasi untuk menghambat perjalanan Raden Yamawidura dan Patih Gandamana agar tidak mencapai Hutan Mandalasana tepat waktu.

Begitu mendapat perintah dari sang kakak, Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta segera membagi pasukan Gandaradesa menjadi dua. Pasukan yang pertama berangkat bersama Aryaprabu Sarabasanta menuju ke Hutan Mandalasana, sedangkan pasukan yang kedua bersama Aryaprabu Anggajaksa menghadang perjalanan Raden Yamawidura dan Patih Gandamana.

Setelah kedua adiknya berangkat, Arya Suman lantas mengajak kedua keponakannya, yaitu Raden Suyudana dan Raden Dursasana untuk mengamati dari kejauhan. Kurawa nomor satu dan nomor dua itu pun bertanya mengapa sepupu mereka, yaitu Raden Bima harus dibunuh. Arya Suman menjawab bahwa putra Prabu Pandu dalam bungkus tersebut harus disingkirkan kerena bisa menjadi penghalang bagi Raden Suyudana untuk mendapatkan takhta Kerajaan Hastina. Sejak kecil, para Kurawa terutama Raden Suyudana memang telah dihasut Arya Suman untuk selalu membenci putra-putra Prabu Pandu, serta menganggap mereka sebagai musuh yang harus disingkirkan.

Setelah mendapat penjelasan demikian, Raden Dursasana hanya tertawa-tawa sedangkan Raden Suyudana tampak masih bimbang. Arya Suman tidak mau membuang-buang waktu. Ia pun memerintahkan kedua keponakannya itu untuk segera naik kuda, lalu mereka pun bersama-sama mengikuti pasukan Gandaradesa yang menuju Hutan Mandalasana.

ARYAPRABU ANGGAJAKSA MENGHADANG RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA

Aryaprabu Anggajaksa bersama pasukannya mengenakan topeng supaya tidak dikenali oleh Raden Yamawidura dan Patih Gandamana. Mereka pun menghadang perjalanan kedua orang itu agar tidak dapat mencapai Hutan Mandalasana tepat waktu.

Karena dihadang secara tiba-tiba oleh kawanan manusia bertopeng, Patih Gandamana dan Raden Yamawidura segera membela diri. Patih Gandamana seorang diri bertarung melawan para prajurit Gandaradesa, sedangkan Raden Yamawidura menghadapi Aryaprabu Anggajaksa.

Setelah bertempur agak lama, Patih Gandamana dan Raden Yamawidura akhirnya berhasil memukul mundur pasukan dari Gandaradesa tersebut. Setelah pihak musuh melarikan diri, Raden Yamawidura pun mengajak Patih Gandamana melanjutkan perjalanan.

ARYAPRABU SARABASANTA DITERJANG SI BUNGKUS

Sementara itu, Aryaprabu Sarabasanta dan pasukannya telah sampai di Hutan Mandalasana. Mereka melihat si bungkus tampak mengembang dan mengempis seperti sedang bernapas, sambil sesekali terdengar suara menggeram seperti singa dari dalam benda itu. Tanpa banyak bicara, mereka pun segera menghujani si bungkus dengan berbagai macam senjata.

Namun demikian, tidak ada satu pun senjata mereka yang mampu merobek selaput pembungkus Raden Bima. Justru sebaliknya, Raden Bima bungkus tiba-tiba bergerak menggelinding menghantam orang-orang Gandaradesa suruhan Arya Suman tersebut.

Aryaprabu Sarabasanta beserta pasukannya kelabakan menghadapi terjangan si bungkus. Mereka kalang kabut berhamburan, bagaikan dihantam batu besar yang menggelinding ke sana kemari. Tidak hanya itu, si bungkus ternyata mampu mengeluarkan angin topan yang membuat orang-orang Gandaradesa itu terhempas jauh keluar dari Hutan Mandalasana.

Arya Suman, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana merasa ngeri melihat pemandangan ini. Mereka pun bergegas pergi dan menunda rencana membunuh Raden Bima sampai kelak jika sudah keluar dari bungkusnya saja.

BATARA BAYU DAN GAJAH SENA MENDAPAT TUGAS MERUWAT SI BUNGKUS

Sementara itu di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dan Batara Narada sedang membahas tentang Pandawa nomor dua, yaitu Raden Bima yang sudah saatnya keluar dari dalam bungkus. Sudah empat belas tahun lamanya Raden Bima bertapa di dalam bungkus dan kini ia akan keluar menjadi kesatria berkekuatan dahsyat yang lahir untuk membela kebenaran. Batara Guru lalu memanggil Batara Bayu dan kendaraannya yang berwujud gajah, bernama Gajah Sena untuk menghadap.

Setelah keduanya hadir, Batara Guru pun menyampaikan perintahnya. Batara Bayu mendapat tugas untuk masuk ke dalam bungkus dan memberikan pakaian lengkap kepada Raden Bima. Nanti jika sudah selesai, maka Gajah Sena ditugasi untuk merobek selaput pembungkus Raden Bima. Hal itu karena di muka bumi hanya gading milik Gajah Sena saja yang mampu merobek bungkus tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun mempersilakan keduanya berangkat. Keduanya lalu mohon diri untuk melaksanakan tugas tersebut.

BATARA BAYU MEMBERIKAN PAKAIAN KEPADA RADEN BIMA

Batara Bayu dan Gajah Sena telah sampai di Hutan Mandalasana. Dengan kekuatan gaibnya, Batara Bayu pun masuk menyusup ke dalam bungkus dan menemui Raden Bima. Ia memperkenalkan diri sebagai ayah angkat Raden Bima, serta menjelaskan bahwa orang tua kandungnya berada di Kerajaan Hastina, bernama Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Kunti.

Raden Bima bertanya kapan dirinya akan keluar dari dalam bungkus untuk melihat dunia luas. Batara Bayu menjelaskan bahwa sebentar lagi akan ada Gajah Sena yang datang untuk merobek bungkusnya. Namun sebelum itu, Batara Bayu akan memberikan pakaian lengkap terlebih dulu kepada Raden Bima. Pakaian tersebut berupa Pupuk Mas Jarot Asem, Anting Panunggul Manik Warih, Sumping Pudak Sinumpet, Kain Poleng Bang Bintulu Aji, Gelang Candrakirana, Kelatbahu Cepok Manggis, dan Ikat Pinggang Cinde Bara.

Setelah Raden Bima mengenakan semua pakaian tersebut, Batara Bayu segera keluar dari dalam bungkus dan memberi isyarat kepada Gajah Sena, lalu ia pun terbang ke angkasa.

GAJAH SENA MEROBEK BUNGKUS RADEN BIMA

Begitu menerima isyarat dari Batara Bayu, Gajah Sena segera maju dan mulai berusaha membuka bungkus Raden Bima. Ia menginjak-injak bungkus tersebut dan juga membelitnya dengan belalai. Hingga akhirnya, kedua gadingnya pun menembus dan merobek bungkus Raden Bima.

Begitu pembungkusnya terbuka, Raden Bima langsung keluar dan berdiri tegak di hadapan Gajah Sena. Sungguh Gajah Sena merasa kagum melihat Raden Bima yang baru berusia empat belas tahun namun bertubuh tinggi besar melebihi orang dewasa. Tiba-tiba ia teringat ucapan Batara Guru bahwa Raden Bima terlahir menjadi pria perkasa yang senantiasa membela kebenaran. Hal itu menyebabkan terlintas keinginannya untuk bersatu jiwa raga dengan pemuda tersebut.

Maka, Gajah Sena pun segera maju menyerang Raden Bima untuk memancing amarahnya. Raden Bima yang terkejut karena diserang secara tiba-tiba segera membela diri. Ia pun bergulat menghadapi gajah kahyangan tersebut. Setelah bertarung cukup lama, akhirnya Raden Bima berhasil mematahkan kedua gading di mulut Gajah Sena. Begitu gadingnya patah, Gajah Sena langsung musnah dan berubah menjadi cahaya, kemudian masuk ke dalam tubuh Raden Bima. Tidak hanya itu, kedua gading milik Gajah Sena pun bersatu pula di dalam jempol tangan kiri dan kanan Raden Bima, membentuk semacam kuku yang sangat tajam.

RADEN BIMA BERTEMU RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA

Tidak lama kemudian Raden Yamawidura dan Patih Gandamana datang di Hutan Mandalasana. Raden Bima langsung menyerang mereka karena mengira keduanya adalah teman Gajah Sena. Patih Gandamana maju menghadapinya. Keduanya pun bergulat sama-sama kuat tidak ada yang kalah. Dalam hati Patih Gandamana merasa heran mengapa ada anak muda yang begitu perkasa dan mampu menyamai kekuatannya.

Tiba-tiba dari angkasa turun Batara Narada dan Batara Bayu yang melerai mereka. Raden Bima yang mengenali Batara Bayu segera menghentikan perkelahian, begitu pula dengan Patih Gandamana. Batara Narada pun memperkenalkan Raden Bima adalah putra kedua Prabu Pandu yang telah keluar dari dalam bungkusnya. Raden Yamawidura dan Patih Gandamana sangat gembira mendengar itu. Mereka pun bergantian memeluk sang keponakan.

Batara Narada juga berpesan kepada Raden Bima apabila ingin bertemu dengan kedua orang tua kandungnya, maka harus mengikuti Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pulang ke Kerajaan Hastina. Raden Bima pun menurut. Setelah berkata demikian, Batara Narada memungut selaput bekas pembungkus tubuh Raden Bima yang berserakan di tanah, lalu membawanya terbang menuju ke Kadipaten Banakeling.

Setelah Batara Narada pergi, Batara Bayu pun berpesan kepada Raden Bima bahwa sepasang gading milik Gajah Sena yang kini bersatu di kedua jempol tangannya dapat menjadi pusaka yang ampuh. Apabila Raden Bima berkehendak, maka kedua kuku jempol tersebut dapat memanjang sampai satu jengkal dan dapat digunakan untuk membunuh musuh. Sepasang kuku pusaka tersebut hendaknya diberi nama Kuku Pancanaka. Selain Raden Bima, ada putra angkat Batara Bayu lainnya yang juga memiliki Kuku Pancanaka, bernama Kapi Anoman. Batara Bayu meramalkan bahwa suatu saat nanti Raden Bima pasti dapat bertemu dengan tokoh wanara bernama Kapi Anoman tersebut.

Batara Bayu melihat Gajah Sena kini telah bersatu jiwa raga dengan Raden Bima. Maka, ia pun memberikan nama baru kepada putra angkatnya itu, Raden Bimasena. Setelah berkata demikian, ia lalu undur diri kembali ke kahyangan. Raden Yamawidura, Patih Gandamana, dan Raden Bimasena memberikan penghormatan, lalu mereka kembali ke Kerajaan Hastina.

BATARA NARADA MENEMUI ADIPATI SAPWANI DAN DEWI DRATA

Sementara itu, Batara Narada telah mendarat di Kadipaten Banakeling, yang masih termasuk bawahan Kerajaan Hastina. Kadipaten Banakeling sendiri dipimpin oleh raja tua bernama Adipati Sapwani yang semasa muda dulu pernah menyerang Kerajaan Hastina dan ditaklukkan oleh Resiwara Bisma. Sudah puluhan tahun lamanya Adipati Sapwani menikah dengan Dewi Drata namun tidak juga dikaruniai keturunan. Mereka pun tekun bertapa di Gunung Gihacala untuk memohon kemurahan dewata agar bisa segera mendapatkan putra.

Batara Narada yang telah hadir di Gunung Gihacala segera membangunkan suami istri yang sedang bertapa tersebut. Adipati Sapwani dan Dewi Drata membuka mata kemudian menyembah hormat. Batara Narada menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa dewata telah mengabulkan permohonan Adipati Sapwani dan Dewi Drata untuk mendapatkan putra. Sebagai sarananya, Batara Narada menyerahkan selaput pembungkus Raden Bima kepada Adipati Sapwani agar direndam di dalam Tirta Kaskaya selama tujuh hari tujuh malam. Adapun Tirta Kaskaya adalah air hujan yang pertama kali turun dan ditampung dalam sebuah wadah. Setelah itu, air rendaman tersebut harus diminum Adipati Sapwani dan Dewi Drata sebelum melakukan hubungan badan.

Batara Narada berkata bahwa Tirta Kaskaya bekas rendaman selaput pembungkus Raden Bima berkhasiat menyuburkan benih Adipati Sapwani dan Dewi Drata. Kelak Dewi Drata akan melahirkan seorang bayi laki-laki. Batara Narada berjanji akan datang lagi untuk “menjedi” bayi tersebut sehingga tumbuh dewasa dalam waktu singkat. Putra yang dibesarkan dalam waktu singkat itu kelak hendaknya diberi nama Raden Jayadrata.

Adipati Sapwani dan Dewi Drata berterima kasih atas sarana yang diberikan dewata kepada mereka. Namun, mereka merasa heran mengapa putra mereka kelak jika lahir harus dijedi supaya bisa menjadi dewasa dalam waktu singkat? Batara Narada pun menjawab bahwa Raden Jayadrata ditakdirkan menjadi jodoh Dewi Dursilawati, yaitu satu-satunya Kurawa yang berkelamin wanita. Saat ini Dewi Dursilawati sudah berusia empat belas tahun, sehingga Raden Jayadrata kelak jika sudah lahir harus dijedi menjadi dewasa dalam waktu sekejap, agar bisa serasi dengan Dewi Dursilawati.

Mendengar penjelasan demikian, Adipati Sapwani dan Dewi Drata merasa lega. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun terbang kembali ke kahyangan.

RADEN BIMASENA BERTEMU KEDUA SAUDARANYA

Sementara itu di Kerajaan Hastina, Raden Puntadewa dan Raden Permadi, yaitu putra pertama dan ketiga Prabu Pandu telah mendengar kabar bahwa hari ini Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pergi ke Hutan Mandalasana untuk menjemput kepulangan saudara mereka. Keduanya merasa gembira dan memutuskan untuk menyusul ke hutan. Mereka sengaja tidak memberi tahu sang ayah karena pasti akan dilarang jika pergi ke sana.

Namun di tengah jalan, Raden Puntadewa dan Raden Permadi dihadang Arya Suman bersama Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Karena rencananya untuk membunuh Raden Bima telah gagal, Arya Suman pun memerintahkan Raden Suyudana dan Raden Dursasana untuk memukuli Raden Puntadewa dan Raden Permadi sebagai pelampiasan. Mendapat perintah demikian, Raden Suyudana dan Raden Dursasana segera maju menyerang kedua Pandawa itu.

Raden Permadi berusaha membela diri, sedangkan Raden Puntadewa mempersilakan jika Raden Suyudana dan Raden Dursasana ingin memukul dirinya. Ia rela tidak melawan apabila itu memang bisa membuat kedua sepupunya tersebut merasa bahagia.

Pada saat itulah tiba-tiba muncul pemuda bertubuh tinggi besar yang langsung menerjang Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Pemuda tinggi besar itu tidak lain adalah Raden Bimasena yang langsung menghajar mereka. Karena merasa kewalahan, Raden Suyudana dan Raden Dursasana pun memilih kabur, dengan diikuti Arya Suman, paman mereka.

Raden Puntadewa dan Raden Permadi berterima kasih atas pertolongan Raden Bimasena. Raden Yamawidura pun menjelaskan bahwa Raden Bimasena ini adalah saudara mereka yang nomor dua, yang baru saja keluar dari dalam bungkus. Raden Puntadewa dan Raden Permadi terharu bahagia, lalu mereka pun berangkulan dengan Raden Bimasena.

Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pun memperkenalkan kedua pangeran remaja itu kepada Raden Bimasena. Raden Puntadewa yang kini berusia enam belas tahun adalah kakak sulung Raden Bimasena, sedangkan Raden Arjuna atau Raden Permadi yang kini berusia dua belas tahun adalah adiknya. Mereka lalu bersama-sama melanjutkan perjalanan pulang ke Kerajaan Hastina. Raden Puntadewa pun meminta kepada mereka semua untuk tidak menceritakan perbuatan Raden Suyudana dan Raden Dursasana tadi kepada keluarga di istana.

PRABU PANDU MENYAMBUT KEPULANGAN PUTRA KEDUANYA

Demikianlah, Raden Yamawidura dan rombongannya telah sampai di istana Kerajaan Hastina. Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan segenap anggota keluarga lainnya menyambut kedatangan Raden Bimasena dengan penuh perasaan haru dan bahagia.

Prabu Pandu kagum melihat putra keduanya itu bertubuh tinggi besar dan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Ia teringat dewata pernah berpesan bahwa penempatan Raden Bima bungkus di tengah Hutan Mandalasana bukanlah sebagai pembuangan, melainkan sebagai sarana bagi Pandawa nomor dua tersebut untuk melakukan tapa brata selama empat belas tahun. Teringat pada hal itu, maka Prabu Pandu pun memberikan nama tambahan untuk Raden Bimasena, yaitu Raden Bratasena.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------




Catatan : kisah Bima Bungkus ini menurut versi Raden Ngabehi Ranggawarsita terjadi pada tahun Suryasengkala 679 yang ditandai dengan sengkalan “trusthaning wiku angraras barakan”, atau bertepatan dengan tahun Candrasengakala 699 dengan ditandai sengkalan “rudra mukar angayak langit”. Menurut versi ini, kisah Bima Bungkus terjadi hanya beberapa hari saja setelah Bima Lahir, bahkan sebelum Kurawa Lahir di tahun yang sama. Namun, menurut versi Ki Anom Suroto, kisah Bima Bungkus terjadi belasan tahun setelah Bima Lahir.




Sumber  http://albumkisahwayang.blogspot.co.id/2016/07/bima-bungkus.html

PERKAWINAN RUKMA DAN UGRASENA

Rukma - Ugrasena Krama


Kisah ini menceritakan perkawinan Aryaprabu Rukma dengan Batari Arumbini, serta perkawinan Arya Ugrasena dengan Batari Wresini. Pada umumnya kedua cerita tersebut dipentaskan sendiri-sendiri. Namun, karena kisahnya hampir mirip, maka saya mencoba menggabungkannya menjadi satu lakon saja.

Kisah ini di kembangkan dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa terbitan Balai Pustaka, yang di padukan dengan buku Reroncen Balungan Lampahan Ringgit Purwa, karya Ki Bondhan Hargana.



Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena

KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA DISERANG PASUKAN RAKSASA

Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap para dewa, antara lain Batara Narada dari Sidikpangudal-udal, Batara Brama dari Daksinageni, dan Batara Indra dari Suralaya. Mereka sedang membicarakan perihal Batara Wisnu yang telah lahir ke dunia sebagai manusia, yaitu menitis kepada putra Prabu Basudewa yang bernama Raden Narayana, serta putra Prabu Pandu yang bernama Raden Permadi. Sebagai pendamping, ikut menitis pula Batara Laksmanasadu dan Batara Basuki yang terlahir sebagai Raden Kakrasana putra Prabu Basudewa. Kini Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Raden Permadi telah berusia tujuh tahun. Raden Kakrasana dan Raden Narayana dibesarkan di Desa Widarakandang, sedangkan Raden Permadi dibesarkan di Kerajaan Hastina.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba datang dua raksasa yang mengaku bernama Patih Kaladirga dari Kerajaan Guamiring dan Patih Kalaruci dari Kerajaan Paranggubarja. Raja Guamiring yang bernama Prabu Sasradewa dan raja Paranggubarja yang bernama Prabu Garbaruci adalah saudara seperguruan. Mereka sama-sama memiliki keinginan memperistri bidadari kahyangan. Untuk itu, Prabu Sasradewa mengutus Patih Kaladirga untuk melamar Batari Arumbini, sedangkan Prabu Garbaruci mengutus Patih Kalaruci untuk melamar Batari Wresini. Kedua patih raksasa itu pun berangkat bersama-sama ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk menyampaikan pinangan tersebut kepada Batara Guru selaku raja para dewa. Mereka juga berkata telah diberi wewenang penuh oleh raja masing-masing untuk memboyong kedua bidadari tersebut, baik secara halus maupun kasar.

Batara Brama dan Batara Indra tersinggung mendengar ucapan kedua raksasa yang bernada menantang itu. Mereka pun mempersilakan keduanya untuk menunggu di lapangan Repatkepanasan, karena di sanalah Batari Arumbini dan Batari Wresini akan diserahkan. Mendengar itu, Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci segera mohon pamit, keluar meninggalkan Balai Marcukunda.

PASUKAN DEWATA DIKALAHKAN PASUKAN RAKSASA

Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci yang telah berada di luar Balai Marcukunda segera menyiagakan pasukan raksasa dari Kerajaan Guamiring dan Paranggubarja. Mereka pun bersiap untuk menghadapi pasukan dewata yang dipimpin Batara Brama dan Batara Indra.

Tidak lama kemudian, Batara Brama dan Batara Indra muncul memimpin pasukan kahyangan, yang biasa disebut pasukan Dorandara. Begitu kedua pihak bertemu, terjadilah pertempuran sengit di antara mereka. Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci mampu membuktikan kesombongan mereka. Kedua raksasa itu ternyata memiliki kesaktian tinggi yang mampu membuat Batara Brama dan Batara Indra terdesak mundur.

Melihat pihak dewata kewalahan, Batara Narada segera maju melerai mereka. Kepada kedua patih raksasa tersebut, Batara Narada menyampaikan pesan bahwa kedua bidadari, yaitu Batari Arumbini dan Batari Wresini akan diserahkan tapi menunggu waktu yang baik, yaitu hari Selasa Kliwat atau Anggara Kasep, tanggal tiga puluh dua, bulan Jumadilawas, tahun Bebas, bersamaan dengan terbitnya matahari dari barat.

Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci merasa bingung namun Batara Narada berhasil meyakinkan mereka. Kedua patih raksasa itu lalu membawa pasukan mereka untuk mundur dan berkemah di kaki Gunung Jamurdipa.

Setelah pasukan raksasa itu pergi, Batara Narada segera menjelaskan kepada Batara Brama, Batara Indra, dan para dewa lainnya bahwa musuh kahyangan hanya bisa dikalahkan oleh jago kahyangan. Menurut petunjuk Batara Guru, manusia yang bisa menjadi jago para dewa saat ini adalah kakak beradik dari Kerajaan Mandura, yaitu saudara muda Prabu Basudewa yang bernama Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena. Untuk itu, Batara Narada pun diperintahkan berangkat menjemput mereka naik ke kahyangan.

KISAH AIB DI KERAJAAN MANDURA

Batara Narada berhasil menemukan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena sedang bertapa di Hutan Jatirokeh. Ia pun turun dari angkasa membangunkan kedua pangeran tersebut. Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena membuka mata lalu mereka buru-buru menyembah hormat kepada Batara Narada.

Batara Narada bertanya apa yang menjadi tujuan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena bertapa di Hutan Jatirokeh. Aryaprabu Rukma pun bercerita bahwa ia dan adiknya telah diusir dari Kerajaan Mandura oleh sang kakak, yaitu Prabu Basudewa. Pada mulanya Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena sama-sama menyukai penyanyi istana yang bernama Ken Yasoda. Namun kemudian, Prabu Basudewa menyerahkan Ken Yasoda yang sedang hamil kepada Kyai Antyagopa, putra Buyut Gupala. Kyai Antyagopa lalu dijadikan sebagai kepala Desa Widarakandang, bergelar Buyut Antyagopa, sedangkan Ken Yasoda diganti namanya menjadi Nyai Sagopi.

Prabu Basudewa lalu menugasi Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi untuk mengasuh ketiga anaknya, yaitu Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Bratajaya, sesuai petunjuk dewata. Dengan alasan ingin menjenguk ketiga keponakannya itu, Aryaprabu Rukma pun berkunjung ke Desa Widarakandang untuk menemui Nyai Sagopi. Dengan segala bujuk rayu serta ancaman, Aryaprabu Rukma akhirnya bisa melampiaskan nafsunya kepada Nyai Sagopi, tanpa sepengetahuan Buyut Antyagopa.

Arya Ugrasena yang juga menyukai Nyai Sagopi pun menggunakan cara sama. Dengan alasan ingin menjenguk ketiga keponakannya, ia berhasil pula melampiaskan nafsu birahi kepada istri Buyut Antyagopa tersebut.

Setelah peristiwa aib tersebut, Nyai Sagopi pun mengandung. Pada awalnya Buyut Antyagopa marah ketika mengetahui istrinya telah berselingkuh dengan dua pangeran sekaligus. Akan tetapi, pada suatu malam ia bermimpi mendapat petunjuk dewa bahwa janin yang dikandung Nyai Sagopi kelak akan menjadi orang-orang mulia. Sudah menjadi takdir Yang Mahakuasa bahwa benih yang ditanam Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena sama-sama hidup di dalam rahim Nyai Sagopi dan berkembang menjadi janin perempuan dan laki-laki.

Janin perempuan dalam rahim Nyai Sagopi itu berasal dari benih Aryaprabu Rukma, jika kelak lahir ke dunia hendaknya diberi nama Rara Sati, dan diakui sebagai putri Buyut Antyagopa. Nanti setelah dewasa ia akan menjadi prajurit wanita tangguh dan menikah dengan Raden Arjuna, putra Prabu Pandu Dewanata. Sementara itu, janin yang laki-laki berasal dari benih Arya Ugrasena, kelak jika lahir hendaknya diserahkan kepada Kyai Adirata di Desa Petapralaya, supaya diberi nama Adimanggala dan dipersaudarakan dengan putra angkatnya yang bernama Karna Basusena. Nanti setelah dewasa, apabila Karna Basusena menjadi raja, maka Adimanggala akan ikut mendapat kemuliaan sebagai patihnya.

Demikianlah, Buyut Antyagopa lalu pergi ke istana Mandura untuk menceritakan petunjuk dewata tersebut kepada Prabu Basudewa. Ia mengaku ikhlas dan tidak sakit hati meskipun istrinya dihamili dua pangeran Mandura sekaligus. Ia justru merasa ini mungkin sudah menjadi tugas dari Nyai Sagopi untuk mengandung dan melahirkan orang-orang mulia di kemudian hari. Setelah bercerita demikian, Buyut Antyagopa lalu mohon pamit pulang ke Widarakandang.

Kebaikan hati Buyut Antyagopa justru membuat Prabu Basudewa merasa sangat malu. Ia pun memanggil dan memarahi Aryaprabu Rukma serta Arya Ugrasena. Mengenai aib ini hendaknya menjadi rahasia dan jangan sampai didengar oleh rakyat, karena akan mencoreng wibawa Kerajaan Mandura. Prabu Basudewa lalu memerintahkan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena untuk segera menikah dengan wanita lain agar mereka bisa melupakan sosok Nyai Sagopi. Prabu Basudewa juga melarang kedua adiknya mengunjungi Desa Widarakandang karena tidak pantas dua pangeran Mandura berhubungan dengan bekas pelayan istana yang kini sudah menjadi istri orang.

Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena agak tersinggung mendengar ucapan kakaknya. Tanpa sengaja mereka pun mengungkit peristiwa sembilan tahun yang lalu saat Prabu Basudewa berhubungan dengan Nyai Sagopi yang masih bernama Ken Yasoda. Dari hubungan itu telah lahir seorang putra yang diberi nama Udawa, yang kini diakui sebagai putra sulung Buyut Antyagopa.

Mendengar aibnya diungkit, Prabu Basudewa semakin marah dan mengusir kedua adiknya itu. Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena ketakutan dan segera pergi meninggalkan istana Mandura.

ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MENJADI JAGO KAHYANGAN

Demikianlah, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena bercerita kepada Batara Narada tentang latar belakang kenapa mereka pergi dari istana. Tujuan mereka bertapa di Hutan Jatirokeh adalah untuk meminta petunjuk dewata tentang siapa wanita yang bisa menjadi jodoh mereka. Karena hanya dengan memiliki istri, maka mereka bisa diterima kembali oleh Prabu Basudewa dan mendapatkan maaf dari sang kakak.

Batara Narada pun berkata bahwa jodoh Aryaprabu Rukma adalah Batari Arumbini, sedangkan jodoh Arya Ugrasena adalah Batari Wresini. Kedua bidadari tersebut kini sedang dilamar oleh Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci untuk menjadi istri raja-raja mereka. Batara Narada berkata bahwa kedua bidadari itu akan diserahkan kepada Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena asalkan mereka mampu menumpas pasukan raksasa yang kini mengepung Kahyangan Jonggringsalaka.

Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena menyatakan bersedia. Batara Narada senang mendengarnya dan segera membawa mereka naik menuju kahyangan.

KEMATIAN PATIH KALARUCI DAN PATIH KALADIRGA

Begitu sampai di Kahyangan Jonggringsalaka, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena segera menjalankan tugas. Mereka pun memimpin pasukan Dorandara menggempur perkemahan para raksasa di kaki Gunung Jamurdipa. Pertempuran sengit pun terjadi. Patih Kaladirga bertarung melawan Aryaprabu Rukma, sedangkan Patih Kalaruci bertarung melawan Arya Ugrasena. Sudah menjadi suratan takdir bahwa kedua patih raksasa yang sakti itu akhirnya tewas di tangan dua pangeran dari Mandura tersebut.

Melihat pemimpin mereka tewas, para prajurit raksasa pun berhamburan melarikan diri, meninggalkan Gunung Jamurdipa.

PRABU SASRADEWA DAN PRABU GARBARUCI DATANG MENYERANG

Berita kematian Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci telah terdengar oleh Prabu Sasradewa dan Prabu Garbaruci. Kedua raja yang satu perguruan itu pun marah dan berangkat menyerang Kahyangan Jonggringsalaka. Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena segera menghadang mereka dan terjadilah pertempuran sengit. Prabu Sasradewa berhasil menangkap Aryaprabu Rukma dan melemparkan tubuhnya jauh-jauh, begitu pula dengan Prabu Garbaruci yang berhasil menangkap dan melemparkan tubuh Arya Ugrasena.

Melihat kedua jago kahyangan telah kalah dan tidak diketahui nasibnya, Batara Guru pun memerintahkan Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata untuk menutup rapat-rapat pintu gerbang kahyangan, yaitu Kori Selamatangkep. Dengan demikian, Prabu Sasradewa dan Prabu Garbaruci pun tertahan di luar tanpa bisa masuk ke dalam kahyangan.

ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MENDAPAT BANTUAN PRABU PANDU

Sementara itu, tubuh Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena yang terlempar jauh akhirnya jatuh di Hutan Mandalasana. Saat itu Prabu Pandu bersama para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong sedang berada di dalam hutan tersebut untuk mengunjungi putranya yang nomor dua, yaitu Raden Bima yang masih berada di dalam bungkus sejak lahir.

Melihat kedua adik iparnya jatuh dari kahyangan, Prabu Pandu segera mendatangi dan mengobati mereka. Setelah Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena pulih dari luka, mereka pun ingin kembali ke kahyangan untuk menghadapi kedua musuh tadi. Prabu Pandu menyatakan siap membantu. Ia meminjamkan pusaka Panah Mustikajamus dan Keris Pulanggeni kepada kedua adik iparnya itu, kemudian ikut bersama menemani mereka kembali naik ke kahyangan.

Demikianlah, setelah mendapat bantuan senjata pusaka, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena kembali menantang Prabu Sasradewa dan Prabu Garbaruci. Akhirnya, Prabu Sasradewa pun tewas terkena Panah Mustikajamus yang dilepaskan Aryaprabu Rukma, sedangkan Prabu Garbaruci tewas tertusuk Keris Pulanggeni di tangan Arya Ugrasena.

ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MEMBOYONG DUA BIDADARI

Batara Guru dan segenap para dewa berterima kasih kepada Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena atas jasa mereka menumpas musuh kahyangan, juga kepada Prabu Pandu Dewanata yang telah memberikan bantuan kepada mereka.

Sesuai janji di awal, Batara Guru pun menyerahkan Batari Arumbini kepada Aryaprabu Rukma, serta Batari Wresini kepada Arya Ugrasena. Kedua pangeran itu berterima kasih, lalu mohon diri memboyong para bidadari tersebut ke Kerajaan Mandura dengan ditemani Prabu Pandu dan para panakawan.

PRABU BASUDEWA MENIKAHKAN ADIK-ADIKNYA

Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura menyambut kepulangan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena yang masing-masing telah membawa bidadari sebagai calon istri. Prabu Basudewa pun meminta maaf karena telah berlaku kasar mengusir kedua adiknya itu. Sebaliknya, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena juga meminta maaf karena telah menyinggung perasaan sang kakak.

Demikianlah, pada hari yang dianggap baik dilaksanakan upacara perkawinan antara Aryaprabu Rukma dengan Batari Arumbini, serta Arya Ugrasena dengan Batari Wresini. Upacara pernikahan ganda ini berlangsung meriah dan banyak dihadiri para tamu serta undangan.

Tiba-tiba kemeriahan tersebut diganggu oleh datangnya serangan dari adik kandung Prabu Garbaruci yang bernama Raden Garbanata dari Kerajaan Paranggubarja. Prabu Pandu segera turun tangan membantu pihak Mandura. Dengan cekatan ia berhasil meringkus Raden Garbanata dan menyerahkannya kepada Prabu Basudewa.

Prabu Basudewa bersedia mengampuni Raden Garbanata asalkan ia bersumpah tidak lagi mengganggu ketenangan Kerajaan Mandura. Raden Garbanata terkesan atas kebaikan hati Prabu Basudewa dan ia pun bersumpah tidak akan mengganggu Kerajaan Mandura lagi.

Prabu Basudewa senang mendengarnya. Ia pun mempersilakan Raden Garbanata untuk menjadi raja Paranggubarja, menggantikan kakaknya yang telah meninggal. Raden Garbanata berterima kasih, dan sejak saat itu ia pun memakai gelar Prabu Garbanata. Ia juga mengganti nama Kerajaan Paranggubarja menjadi Kerajaan Garbaruci, untuk mengenang mendiang kakaknya.





Sumber   http://albumkisahwayang.blogspot.co.id/2016/06/rukma-ugrasena-krama.html

BASUDEWA GROGOL

Basudewa Grogol


Kisah ini menceritakan kelahiran anak-anak Prabu Basudewa, yaitu Raden Kakrasana (kelak menjadi Prabu Baladewa), Raden Narayana (kelak menjadi Prabu Sri Kresna), serta Dewi Sumbadra. Pada saat yang sama lahir pula putra ketiga Prabu Pandu, yaitu Raden Arjuna yang kelak menjadi pahlawan besar dalam Perang Bratayuda. Juga dikisahkan kelahiran Raden Kangsa yang kelak menjadi musuh anak-anak Prabu Basudewa.

Kisah ini diolah dan dikembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang di padukan dengan rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto.



Prabu Basudewa

PRABU BASUDEWA HENDAK PERGI BERBURU

Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura dihadap kedua adiknya, yaitu Aryaprabu Rukma dari Kumbina dan Arya Ugrasena dari Lesanpura, serta para menteri dan punggawa yang dipimpin Patih Saragupita. Saat itu Prabu Basudewa sedang bersedih sekaligus gembira. Ia sedih karena baru saja ditinggal mati kedua orang tuanya, yaitu Bagawan Kuntiboja dan Dewi Bandondari di Gunung Gandamadana. Sedangkan di sisi lain, ia gembira karena ketiga istri barunya, yaitu Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badraini masing-masing telah mengandung tujuh bulan. Selain itu, sang adik yaitu Dewi Kunti juga sedang mengandung dan saat ini berada di istana Mandura.

Dalam pertemuan itu, Prabu Basudewa membahas tentang sejauh mana pembangunan candi makam di Gunung Gandamadana sebagai astana untuk kedua orang tuanya. Patih Saragupita melaporkan bahwa pembangunan astana tersebut telah hampir selesai sesuai rencana. Prabu Basudewa gembira mendengarnya. Berarti dalam waktu dekat ini akan ada dua acara besar. Acara yang pertama adalah upacara tujuh bulan kehamilan Dewi Rohini, Dewi Dewaki, Dewi Badraini, serta Dewi Kunti, dan acara yang kedua adalah peringatan seratus hari meninggalnya Bagawan Kuntiboja dan Dewi Bandondari sekaligus peresmian Astana Gandamadana.

Karena akan ada dua acara besar, Prabu Basudewa berniat pergi ke Hutan Banjarpatoman, yaitu hutan pagrogolan di wilayah Kerajaan Mandura untuk mengumpulkan hewan buruan sebanyak-banyaknya. Setelah dirasa cukup, ia pun membubarkan pertemuan.

PRABU BASUDEWA MENEMUI PARA ISTRI DAN DEWI KUNTI

Prabu Basudewa lalu masuk ke dalam kedaton untuk menemui para istri, yaitu Dewi Maherah, Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badraini, serta adik kandungnya nomor dua, yaitu Dewi Kunti Talibrata.

Beberapa bulan yang lalu Dewi Kunti datang bersama rombongan dari Kerajaan Hastina untuk menghadiri upacara pemakaman Bagawan Kuntiboja dan Dewi Bandondari di Gunung Gandamadana. Setelah upacara selesai, Dewi Kunti memohon kepada sang suami (Prabu Pandu) agar diizinkan tinggal di Kerajaan Mandura sampai melahirkan. Ia ingin melahirkan bersama dengan ketiga kakak iparnya di istana tempat dirinya dulu dibesarkan.

Kehamilan Dewi Kunti yang ketiga ini berbeda dengan kehamilan sebelumnya. Beberapa tahun yang lalu tanpa sengaja Prabu Pandu membunuh Resi Kindama dan Rara Dremi yang sedang bersenggama dalam wujud sepasang kijang. Sebelum tewas, Resi Kindama sempat mengutuk Prabu Pandu akan mengalami nasib celaka apabila bersetubuh dengan istrinya. Prabu Pandu sangat gelisah karena itu berarti dirinya tidak akan memiliki keturunan. Untunglah pada suatu hari Resi Druwasa datang membawa sarana berupa Mangga Pertanggajiwa untuk menanam benih Prabu Pandu di dalam rahim Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Dewi Kunti menelan tiga potong daging mangga, sedangkan Dewi Madrim menelan dua potong. Dengan demikian, Prabu Pandu dapat memiliki anak tanpa harus menyentuh kedua istrinya tersebut.

Dewi Kunti lalu mengundang Batara Darma untuk mematangkan salah satu benih Prabu Pandu di dalam rahimnya. Benih tersebut matang dalam waktu satu hari dan lahir sebagai bayi laki-laki, yang diberi nama Raden Puntadewa. Dua tahun kemudian, Dewi Kunti mengundang Batara Bayu untuk mematangkan benih yang kedua. Benih tersebut matang dalam waktu satu hari pula dan lahir sebagai bayi laki-laki berbungkus, diberi nama Raden Bima. Atas petunjuk Batara Bayu, Prabu Pandu pun meletakkan bayi Raden Bima tersebut di tengah Hutan Mandalasana hingga kelak datang utusan dewa yang mampu merobek bungkusnya.

Setahun kemudian, Prabu Pandu meminta Dewi Kunti untuk mematangkan benih yang ketiga dengan mengundang dewa yang ahli dalam budaya dan kesenian. Dewi Kunti segera mengundang Batara Indra menggunakan ilmu yang dulu diajarkan Resi Druwasa. Batara Indra pun turun dari Kahyangan Suralaya menemui Dewi Kunti dan Prabu Pandu. Dewi Kunti menyampaikan maksudnya, tetapi ia hanya memohon agar Batara Indra mempertemukan benihnya dengan benih Prabu Pandu, itu saja. Mengenai kematangan janin yang ketiga ini biarlah matang secara alami, bukan matang secepat kilat seperti kedua kakaknya. Dewi Kunti mengaku ingin merasakan pengalaman hamil secara wajar selama sembilan bulan, bukan kehamilan satu hari jadi seperti sebelumnya.

Batara Indra menyanggupi permintaan Dewi Kunti. Dengan kekuasaannya, ia pun menyatukan benih dalam rahim Dewi Kunti dengan benih milik Prabu Pandu yang ditanam melalui potongan terakhir Mangga Pertanggajiwa, yang sampai saat ini masih menempel di dalam perut istrinya itu. Setelah kedua benih tersebut bersatu menjadi calon janin, Batara Indra pun memberikan restu kepadanya, lalu undur diri kembali ke kahyangan.

Demikianlah, janin tersebut kini hampir berusia tujuh bulan di dalam kandungan Dewi Kunti. Prabu Pandu pun mengizinkan istrinya itu tinggal di istana Mandura sampai kelak melahirkan. Prabu Pandu sendiri hendak pergi ke Kerajaan Pringgadani untuk menemui muridnya, yaitu Prabu Tremboko. Maka, rombongan pelayat yang kembali ke Kerajaan Hastina hanya tinggal Resiwara Bisma, Adipati Dretarastra, Raden Yamawidura, dan Dewi Madrim yang mengasuh Raden Puntadewa.

Dewi Kunti kini bersama keempat kakak iparnya menyambut kedatangan Prabu Basudewa yang baru saja memimpin pertemuan. Prabu Basudewa berpamitan kepada mereka untuk pergi berburu ke Hutan Banjarpatoman demi mengumpulkan hewan sebagai pelengkap upacara tujuh bulanan dan juga peresmian Astana Gandamadana.

Di antara para istri, tampak Dewi Maherah yang terlihat lesu. Ia merupakan istri tertua namun sampai saat ini belum juga hamil. Ia merasa Prabu Basudewa sudah tidak lagi perhatian kepadanya, sejak Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badraini mengandung.

PASUKAN MANDURA BERTEMPUR MELAWAN PASUKAN GUAGRA

Setelah berpamitan kepada para istri dan adiknya, Prabu Basudewa pun berangkat menuju Hutan Banjarpatoman bersama Aryaprabu Rukma, Arya Ugrasena, dan Patih Saragupita dengan membawa prajurit secukupnya. Di tengah jalan mereka bertemu pasukan raksasa dari Kerajaan Guagra yang dipimpin Patih Suratimantra.

Patih Suratimantra bersama pasukannya sedang mencari sang kakak, yaitu Prabu Gorawangsa yang sudah satu bulan ini menghilang entah ke mana. Ia mendapat firasat bahwa kakaknya itu datang ke Kerajaan Mandura untuk merebut Dewi Maherah. Ia pun pergi menyusul dengan membawa pasukan secukupnya. Melihat kedatangan para raksasa dari Guagra itu, Prabu Basudewa segera memerintahkan pasukan Mandura untuk menghadang mereka.

Maka, terjadilah pertempuran sengit antara kedua belah pihak. Patih Suratimantra merasa kewalahan, dan ia pun memerintahkan para prajuritnya untuk mundur, kembali ke Kerajaan Guagra.

Prabu Basudewa merasa khawatir atas keamanan istana Mandura. Ia pun memerintahkan Patih Saragupita untuk kembali dan memperketat pengamanan istana. Patih Saragupita mohon pamit lalu bergegas melaksanakan tugas.

BATARA WISNU MENDAPAT TUGAS LAHIR MENJADI MANUSIA

Sementara itu, Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka sedang memimpin pertemuan para dewa yang dihadiri Batara Narada, Batara Wisnu, Batari Sri Laksmi, Batari Sri Wedawati, dan Batara Laksmanasadu. Dalam pertemuan itu, Batara Guru memerintahkan Batara Wisnu supaya lahir ke dunia sebagai anak manusia untuk menumpas angkara murka.

Pada zaman dahulu, Batara Wisnu telah lahir sebagai Prabu Sri Rama untuk menumpas angkara murka Prabu Rahwana di Kerajaan Alengka. Istri Batara Wisnu, yaitu Batari Sri Laksmi dan Batari Sri Wedawati ikut terlahir pula sebagai Rakyanwara Sinta, yaitu istri Prabu Sri Rama yang diculik Prabu Rahwana. Adapun Batara Laksmanasadu (adik Dewi Srilaksmi atau ipar Batara Wisnu) terlahir sebagai Raden Laksmana, yaitu adik tiri Prabu Sri Rama.

Kini, angkara murka kembali hadir mengancam ketertiban dunia dalam wujud Arya Suman dan para Kurawa di Kerajaan Hastina. Batara Guru memerintahkan Batara Wisnu dan Batara Laksmanasadu untuk lahir sebagai manusia meredam angkara murka mereka. Batara Wisnu pun menyatakan bersedia, namun ia mohon agar Batara Laksmanasadu diizinkan untuk lahir sebagai kakak.

Dahulu kala saat masih menjadi Prabu Sri Rama dan Raden Laksmana, mereka berdua bersama-sama memerangi kejahatan Prabu Rahwana. Prabu Sri Rama sangat terkesan melihat kesetiaan Raden Laksmana dalam melayani dan melindungi dirinya. Maka, Prabu Sri Rama pun bersumpah kelak jika menitis kembali, ia berharap semoga Raden Laksmana menjadi yang lebih tua, agar ganti dirinya yang memberikan pelayanan.

Mendengar kisah itu, Batara Guru pun mengabulkan permintaan Batara Wisnu. Ia memerintahkan Batara Laksmanasadu agar menitis ke dalam janin yang saat ini dikandung Dewi Rohini dan lahir lebih dulu. Adapun Batara Wisnu diperintahkan untuk membelah diri menjadi dua. Yang satu hendaknya menitis ke dalam janin yang dikandung Dewi Dewaki, sedangkan yang satunya menitis ke dalam janin yang dikandung Dewi Kunti. Kelak setelah dewasa, putra Dewi Rohini titisan Batara Laksmanasadu ditugasi untuk menjadi sahabat para Kurawa agar bisa memberikan nasihat baik kepada mereka. Apabila Batara Laksmanasadu gagal membina para Kurawa, maka Batara Wisnu yang terlahir sebagai putra Dewi Dewaki dan putra Dewi Kunti ditugasi untuk bekerja sama membinasakan mereka semua.

Batara Guru juga memerintahkan kedua istri Batara Wisnu untuk ikut menitis sebagai manusia. Batari Sri Laksmi hendaknya lahir sebagai putri pasangan Kapi Jembawan dan Dewi Trijata, sedangkan Batari Sri Wedawati hendaknya lahir sebagai putri Dewi Badraini, yaitu istri termuda Prabu Basudewa. Kelak putri yang dilahirkan Dewi Trijata akan berjodoh dengan putra Dewi Dewaki, sedangkan putri yang dilahirkan Dewi Badraini akan berjodoh dengan putra Dewi Kunti.

Ketika Batara Wisnu, Batara Laksmanasadu, Batari Sri Laksmi, dan Batari Sri Wedawati hendak mohon pamit melaksanakan tugas, tiba-tiba datang Batara Basuki yang memohon supaya diizinkan ikut menitis sebagai putra Prabu Basudewa. Batara Basuki bercerita bahwa dirinya pernah ditolong Prabu Basudewa setahun yang lalu. Saat itu, Batara Basuki terhimpit batu besar karena bertarung melawan Garuda Wilmana. Untungnya, Prabu Basudewa (yang saat itu belum menjadi raja) datang memberikan bantuan kepadanya. Sejak saat itu, Batara Basuki merasa berhutang budi dan ingin terlahir sebagai putra Prabu Basudewa.

Batara Guru lalu berunding dengan Batara Narada. Mereka pun mempersilakan Batara Basuki supaya bergabung dengan Batara Laksmanasadu untuk menitis ke dalam janin yang dikandung Dewi Rohini. Kelak janin tersebut akan terlahir sebagai sahabat kedua pihak, yaitu menjadi sahabat para Pandawa sekaligus para Kurawa. Tidak hanya itu, ia juga harus mengasuh keturunan para Pandawa setelah Perang Bratayuda. Karena tugasnya yang berat tersebut, maka memang sebaiknya ada dua orang dewa yang secara sekaligus melindunginya.

Batara Basuki berterima kasih, lalu ia pun bersatu jiwa raga dengan Batara Laksmanasadu. Batara Wisnu dan Batara Laksmanasadu kemudian berangkat lebih dulu dengan mengubah wujud mereka menjadi singa dan naga. Sementara itu, Batari Sri Laksmi dan Batari Sri Wedawati berangkat dengan diantarkan Batara Narada.

PRABU BASUDEWA MEMANAH SINGA DAN NAGA

Singa penjelmaan Batara Wisnu dan naga penjelmaan Batara Laksmanasadu itu pun memasuki Hutan Banjarpatoman tempat Prabu Basudewa berburu, dan langsung menyerang raja Mandura tersebut. Prabu Basudewa dengan cekatan memanah mereka berdua. Begitu terkena panah, kedua hewan tersebut langsung musnah dan berubah menjadi cahaya. Sang singa musnah menjadi dua cahaya, yaitu hitam dan kuning, sedangkan sang naga musnah menjadi cahaya putih kemerah-merahan. Ketiga cahaya tersebut lalu melesat menuju ke arah istana Mandura.

Prabu Basudewa merasa penasaran sekaligus khawatir. Ia pun memerintahkan Aryaprabu Rukma untuk mengejar ketiga cahaya tersebut. Aryaprabu Rukma menyembah hormat lalu berangkat melaksanakan tugas.

PRABU GORAWANGSA MENYAMAR SEBAGAI PRABU BASUDEWA

Sementara itu, Prabu Gorawangsa raja Guagra yang jatuh cinta kepada Dewi Maherah kini menyusup ke dalam istana Mandura. Karena Patih Saragupita memperketat keamanan, Prabu Gorawangsa pun mengubah wujudnya menjadi sama persis dengan Prabu Basudewa.

Patih Saragupita heran melihat Prabu Basudewa pulang sendirian. Prabu Basudewa palsu itu mengaku sebelum berangkat sempat bertengkar dengan Dewi Maherah. Selama berburu di Hutan Banjarpatoman ia merasa gelisah dan ingin pulang untuk meminta maaf kepada istri tertuanya itu. Patih Saragupita memaklumi dan segera mempersilakan Prabu Basudewa palsu itu masuk ke dalam kedaton.

Sesampainya di dalam, Prabu Basudewa palsu pun disambut Dewi Maherah, Dewi Rohini, Dewi Dewaki, Dewi Badraini, dan Dewi Kunti. Prabu Basudewa palsu itu mengaku ingin meminta maaf karena selama ini kurang peduli kepada Dewi Maherah dan mengajaknya masuk ke dalam kamar untuk menebus semua kesalahannya. Dewi Maherah merasa sangat bahagia dan segera menggandeng Prabu Basudewa palsu itu masuk ke dalam kamar, meninggalkan yang lainnya.

Setelah mereka berdua masuk kamar, tiba-tiba datang tiga cahaya yang langsung masuk ke dalam istana Mandura. Cahaya yang berwarna putih kemerahan masuk ke dalam perut Dewi Rohini, cahaya hitam masuk ke dalam perut Dewi Dewaki, dan cahaya kuning masuk ke dalam perut Dewi Kunti.

Batara Narada yang mengawasi dari angkasa segera mengubah Batari Sri Wedawati menjadi cahaya mancawarna dan memasukkannya ke dalam perut Dewi Badraini. Dengan demikian, kini hanya tinggal Batari Sri Laksmi saja yang belum menitis.

KEMATIAN PRABU GORAWANGSA

Tidak lama kemudian datanglah Aryaprabu Rukma yang ditugasi Prabu Basudewa untuk mengejar tiga cahaya tadi. Dewi Rohini dan yang lain menyambut kedatangannya dan bercerita bahwa Prabu Basudewa baru saja pulang dan kini berada di kamar bersama Dewi Maherah.

Aryaprabu Rukma heran mengapa Prabu Basudewa sudah lebih dulu pulang ke istana. Ia khawatir jangan-jangan ada musuh sakti yang menyamar sebagai kakaknya itu. Ia pun berteriak di luar kamar, memanggil Prabu Basudewa palsu agar segera keluar.

Sementara itu, Prabu Basudewa palsu baru saja selesai bersetubuh dengan Dewi Maherah. Ia sangat puas akhirnya bisa melampiaskan nafsu birahi kepada wanita idamannya tersebut. Sebaliknya, Dewi Maherah juga merasa sangat bahagia karena Prabu Basudewa kini kembali memperlakukannya dengan baik. Ia tidak peduli meskipun bau badan suaminya itu berubah tidak seperti biasa, namun yang terpenting ia kini merasa lega.

Tiba-tiba terdengar suara Aryaprabu Rukma memanggil-manggil di luar kamar. Prabu Basudewa palsu sangat marah dan segera berpakaian. Ia pun membuka pintu dan langsung menyerang Aryaprabu Rukma. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Karena tidak leluasa dalam wujud Prabu Basudewa, maka Prabu Gorawangsa pun kembali ke wujud asalnya, yaitu seorang raja raksasa.

Melihat Prabu Basudewa yang baru saja tidur dengannya berubah menjadi raksasa, Dewi Maherah pun jatuh pingsan. Dewi Rohini dan yang lain segera memapahnya masuk ke dalam kamar.

Sementara itu, Aryaprabu Rukma terdesak menghadapi kesaktian Prabu Gorawangsa. Patih Saragupita berusaha membantu namun tubuhnya ditangkap raja raksasa itu dan dilemparkan jauh-jauh. Aryaprabu Rukma mencari akal. Ia pun memancing Prabu Gorawangsa agar menjauh dari istana.

Sesampainya di luar istana, Aryaprabu Rukma gembira melihat sang kakak ipar, yaitu Prabu Pandu datang bersama para panakawan setelah mereka mengunjungi Kerajaan Pringgadani. Aryaprabu Rukma pun bercerita bahwa dirinya dikejar-kejar Prabu Gorawangsa yang telah menyusup ke dalam istana Mandura. Prabu Pandu segera meminjamkan Panah Mustikajamus kepada adik iparnya tersebut. Aryaprabu Rukma menerima pusaka itu dengan gembira, lalu kembali untuk menghadang Prabu Gorawangsa.

Maka, begitu Prabu Gorawangsa muncul, Aryaprabu Rukma segera melepaskan Panah Mustikajamus ke arahnya. Panah pusaka itu meluncur dan menembus dada Prabu Gorawangsa. Raja raksasa dari Guagra itu pun tewas seketika.

ARYAPRABU RUKMA MEMBUANG DEWI MAHERAH

Tidak lama kemudian datang pula Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena yang membawa banyak hewan buruan. Melihat mayat Prabu Gorawangsa, mereka pun terkejut dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Aryaprabu Rukma bercerita bahwa raja raksasa ini baru saja menyusup masuk ke dalam istana dalam wujud Prabu Basudewa palsu dan berzinah dengan Dewi Maherah.

Prabu Basudewa sangat marah mendengarnya. Ia pun memerintahkan Aryaprabu Rukma untuk membunuh Dewi Maherah di tengah hutan. Ia tidak rela jika darah istrinya yang berselingkuh itu sampai mengotori istana Mandura. Aryaprabu Rukma merasa bimbang, lalu mohon pamit melaksanakan perintah.

Sesampainya di istana, Aryaprabu Rukma segera menemui Dewi Maherah yang sedang dirawat Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan yang lain. Aryaprabu Rukma bercerita bahwa Prabu Gorawangsa telah tewas berkat bantuan Prabu Pandu. Saat ini Prabu Basudewa yang asli sedang menunggu Dewi Maherah di luar istana dan meminta untuk bertemu sekarang juga. Dewi Maherah merasa sedih karena yakin pasti dirinya akan mendapat hukuman. Ia pun menuruti ajakan Aryaprabu Rukma.

Aryaprabu Rukma dan Dewi Maherah kemudian naik kereta sampai ke tengah hutan. Di dalam hutan lebat itulah Aryaprabu Rukma berterus terang bahwa dirinya mendapat perintah dari Prabu Basudewa untuk menghukum mati Dewi Maherah. Akan tetapi, ia merasa tidak tega. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan kakak iparnya itu seorang diri di tengah hutan.

Demikianlah, Aryaprabu Rukma lalu membangun gubuk ala kadarnya di hutan tersebut sebagai tempat tinggal Dewi Maherah. Ia lalu mohon pamit kembali ke istana dengan perasaan kalut. Kepada Prabu Basudewa, ia melapor bahwa Dewi Maherah sudah dihukum mati olehnya.

DEWI MAHERAH BERTEMU PATIH SURATIMANTRA

Dewi Maherah sudah dua bulan tinggal seorang diri di dalam hutan. Karena terlalu sedih, keadaannya semakin memburuk dan ia pun jatuh sakit. Tiba-tiba muncul Patih Suratimantra bersama para prajurit Guagra lewat di hutan itu untuk mencari hilangnya Prabu Gorawangsa. Melihat ada wanita sakit terbaring di dalam gubuk, Patih Suratimantra heran dan mendatanginya.

Dewi Maherah yang sudah putus asa mempersilakan Patih Suratimantra jika ingin memangsa dirinya. Patih Suratimantra mengaku dirinya bukan raksasa hutan pemangsa manusia, tetapi raksasa bangsawan dari Kerajaan Guagra, adik Prabu Gorawangsa. Dewi Maherah semakin sedih mendengar nama Prabu Gorawangsa disebut. Ia bercerita bahwa dirinya telah dinodai oleh Prabu Gorawangsa hingga hidupnya hancur seperti ini. Patih Suratimantra terkejut dan bertanya di mana kini Prabu Gorawangsa berada. Dewi Maherah pun menjawab bahwa Prabu Gorawangsa telah tewas dibunuh Aryaprabu Rukma dibantu Prabu Pandu dua bulan yang lalu.

Patih Suratimantra sangat marah mendengarnya. Ketika hendak menyerang Kerajaan Mandura untuk membalas dendam, tiba-tiba Dewi Maherah muntah-muntah dan meninggal dunia.

LAHIRNYA JAKA MARUTA

Patih Suratimantra prihatin melihat kematian Dewi Maherah. Ketika hendak menguburkan jasad wanita itu, tiba-tiba datang seorang pendeta raksasa yang bernama Resi Anggawangsa dari Gunung Rawisrengga. Pendeta raksasa itu mengaku mencium bau janin yang terbawa angin. Karena penasaran, ia pun terbang mencari sumber bau tersebut. Ternyata bau janin itu berasal dari perut Dewi Maherah.

Patih Suratimantra terkejut senang bercampur sedih. Ia senang karena ternyata kakaknya memiliki keturunan akibat perzinahan dua bulan yang lalu, dan ia sedih karena Dewi Maherah meninggal dunia sehingga tidak mungkin bisa melahirkan. Resi Anggawangsa meminta Patih Suratimantra untuk tetap tenang, karena yang meninggal hanya Dewi Maherah, tetapi janin dalam kandungannya tetap hidup.

Resi Anggawangsa lalu mengheningkan cipta mengerahkan kesaktiannya. Atas izin dewata, kandungan dalam rahim Dewi Maherah berangsur-angsur matang dalam waktu singkat. Perut Dewi Maherah yang sudah tidak bernyawa itu semakin membesar hingga akhirnya robek dan keluarlah bayi laki-laki dari dalamnya.

Resi Anggawangsa lalu menggendong bayi tersebut dan memberinya nama Jaka Maruta, yang artinya “pemuda angin”. Ini sebagai pengingat bahwa Resi Anggawangsa dapat menemukannya berkat hembusan angin yang membawa bau janin sampai ke Gunung Rawisrengga.

Patih Suratimantra sangat bahagia melihat keponakannya telah lahir. Ia pun memberinya nama Raden Kangsa Dewa, yang bermakna, putra Prabu Gorawangsa yang lahir berkat kemurahan dewata.

Patih Suratimantra pun meminta bayi itu untuk diasuhnya di Kerajaan Guagra. Namun, Resi Anggawangsa melarangnya. Ia berjanji bahwa dirinya yang akan mendidik Raden Kangsa alias Jaka Maruta di puncak Gunung Rawisrengga. Kelak setelah dewasa dan memiliki kesaktian tinggi, barulah Raden Kangsa diserahkan kepada Kerajaan Guagra. Resi Anggawangsa juga melarang Patih Suratimantra untuk menyerang Kerajaan Mandura, karena kelak Raden Kangsa sendiri yang akan membalas kematian ayah dan ibunya.

Patih Suratimantra yang sudah melihat kesaktian Resi Anggawangsa hanya bisa mematuhi nasihat pendeta raksasa tersebut. Setelah dirasa cukup, Resi Anggawangsa pun membawa terbang bayi Raden Kangsa menuju Gunung Rawisrengga, sedangkan Patih Suratimantra menguburkan jasad Dewi Maherah lalu pulang ke Kerajaan Guagra.

KELAHIRAN PUTRA-PUTRI PRABU BASUDEWA

Sementara itu, Prabu Basudewa dan Prabu Pandu di Kerajaan Mandura sedang gelisah menunggu kelahiran putra-putra mereka. Tidak lama kemudian datang seorang pelayan yang mengabarkan bahwa Dewi Rohini telah melahirkan seorang bayi laki-laki berkulit putih kemerah-merahan. Prabu Basudewa sangat bahagia dan memberinya nama, Raden Kakrasana.

Beberapa jam kemudian, Prabu Basudewa menerima kabar bahwa Dewi Dewaki melahirkan seorang bayi laki-laki berkulit hitam legam. Prabu Basudewa kembali berbahagia dan memberi nama putranya itu, Raden Narayana. Akan tetapi, keadaan Dewi Dewaki melemah setelah melahirkan, dan akhirnya ia pun meninggal dunia. Hal ini membuat Prabu Basudewa sangat berduka. Ia pun menyerahkan Raden Narayana kepada Dewi Rohini untuk disusui.

Esok harinya, pagi-pagi sekali para pelayan menyampaikan kabar bahwa Dewi Badraini dan Dewi Kunti melahirkan dalam waktu yang bersamaan. Prabu Basudewa dan Prabu Pandu sangat gembira dan segera menjenguk mereka di kamar. Dewi Badraini melahirkan bayi perempuan yang berkulit agak hitam. Prabu Basudewa pun memberi nama putrinya itu, Dewi Sumbadra, mirip dengan nama ibunya.

Sementara itu, Dewi Kunti melahirkan bayi laki-laki berkulit kuning langsat dan berwajah sangat tampan. Prabu Pandu pun memberi nama putranya itu, Raden Arjuna, sedangkan Dewi Kunti memberinya nama tambahan, Raden Permadi, yang bermakna “kasih sayang utama”. Prabu Basudewa ikut berbahagia dan memberi nama panggilan untuk keponakannya tersebut, Raden Parta, sesuai dengan nama Dewi Kunti sewaktu kecil, yaitu Dewi Prita.

Prabu Basudewa menggendong bayi Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra lalu mengumumkan kelak mereka berdua hendaknya menjadi jodoh. Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan Dewi Badraini menjadi saksi atas pengumuman tersebut.

KAPI JEMBAWAN DAN DEWI TRIJATA MENGHADAP PRABU BASUDEWA

Sore harinya, Prabu Basudewa dan Prabu Pandu menerima kunjungan pasangan suami istri yang sudah sama-sama tua. Yang laki-laki berwujud wanara (manusia kera), sedangkan yang wanita terlihat cantik meskipun sudah tidak muda lagi. Pasangan tersebut mengaku bernama Kapi Jembawan dan Dewi Trijata, yang dulunya pernah mengabdi kepada Prabu Sri Rama dan Rakyanwara Sinta.

Kapi Jembawan dan Dewi Trijata sudah ratusan tahun menikah tetapi belum juga memiliki keturunan. Mereka pun mendapat petunjuk dewata supaya meminta restu kepada keturunan Prabu Sri Rama yang bernama Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura.

Mendengar itu, Prabu Basudewa segera maju dan minta izin untuk menyentuh perut Dewi Trijata. Begitu tangan Prabu Basudewa menyentuh perut wanita tua itu, tiba-tiba muncul seberkas sinar dari angkasa yang langsung masuk meresap ke dalam perut Dewi Trijata.

Tidak lama kemudian, Batara Narada turun dari angkasa menampakkan diri. Ia menjelaskan bahwa Dewi Trijata sebentar lagi akan mengandung seorang anak perempuan titisan Batari Sri Laksmi, dan kelak setelah lahir hendaknya diberi nama Dewi Jembawati. Setelah dewasa, ia akan menjadi jodoh putra Prabu Basudewa yang berkulit hitam, yaitu Raden Narayana. Prabu Basudewa, Kapi Jembawan, dan Dewi Trijata menyembah hormat, mematuhi petunjuk dari Batara Narada tersebut.

Batara Narada lalu menjelaskan bahwa Batara Laksmanasadu dan Batara Basuki telah bersatu dan menitis kepada putra Prabu Basudewa yang berkulit putih kemerahan, yaitu Raden Kakrasana. Adapun Batara Wisnu membelah diri menjadi dua, yaitu menitis kepada Raden Narayana dan Raden Permadi. Sementara itu, Batari Sri Wedawati telah menitis pula kepada Dewi Sumbadra.

Batara Narada juga menceritakan bahwa Dewi Maherah telah meninggal di hutan namun sempat melahirkan seorang bayi yang diberi nama Raden Kangsa, akibat perbuatan Prabu Gorawangsa beberapa bulan yang lalu. Kelak anak itu akan tumbuh menjadi manusia angkara murka. Prabu Basudewa sangat marah dan berniat mencari anak itu untuk dibinasakan sejak dini. Namun, Batara Narada melarangnya, karena sudah menjadi suratan takdir bahwa anak itu hanya bisa dibunuh oleh kerja sama antara Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Sumbadra.

Oleh sebab itu, Batara Narada pun memerintahkan Prabu Basudewa agar menyerahkan ketiga anaknya yang baru lahir tersebut kepada Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi untuk diasuh di Desa Widarakandang. Dengan cara demikian, mereka bertiga akan tumbuh menjadi manusia-manusia bijaksana yang dekat dengan rakyat jelata. Sebaliknya, apabila mereka tetap diasuh di dalam istana, maka ramalan dewa akan menjadi terbalik. Bukannya mereka yang berhasil menewaskan Raden Kangsa, tetapi justru Raden Kangsa yang akan membinasakan mereka semua.

Prabu Basudewa tidak berani membantah. Dengan berat hati ia pun menyatakan patuh terhadap petunjuk Batara Narada tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun undur diri kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru.

Prabu Basudewa lalu menyampaikan hal itu kepada segenap keluarga. Ia juga mengangkat Kapi Jembawan dan Dewi Trijata sebagai juru kunci untuk merawat Astana Gandamadana, yaitu tempat Bagawan Kuntiboja dan Dewi Bandondari dimakamkan.




Sumber  http://albumkisahwayang.blogspot.co.id/2016/06/basudewa-grogol.html